![](https://1.bp.blogspot.com/-CXiGKTnjcVY/YGZQnD95a-I/AAAAAAAACOA/EZDQShVYuHEyR5P2ar6bGxXnK965yi-OgCLcBGAsYHQ/s300/Desain%2Btanpa%2Bjudul%2B%252820%2529.png)
Anak Muda, Kenapa Malas Belajar Agama?
Agama menuntun kita menjadi orang yang baik dan memberi kebaikan, agama menuntun kita meraih kesuksesan dan kebahagiaan yang sejati, agama memberi kita sudut pandang solutif dalam setiap problematika kehidupan. Tapi mengapa banyak anak muda malas belajar agama? Padahal masa muda adalah permulaan dalam mengarungi lautan kehidupan, padahal masa muda adalah masa emas, dimana fisik dan pikiran masih begitu prima, kenapa malah malas belajar agama?
Dalam artikel ini, penulis mencoba menganalisa faktor-faktor penyebab kurangnya minat anak muda dalam belajar agama. Tentu maksud dari ini semua supaya kita menatap diri sendiri dan berusaha mencari solusi untuk kebaikan bersama.
A. Faktor Lingkungan
Lingkungan disini maksudnya adalah kondisi sosial yang seseorang hidup di dalamnya dan orang-orang sekitar yang mempengaruhinya.
Sudah jamak diketahui bahwa lingkungan memberi pengaruh yang besar akan tabiat dan cara berpikir seseorang. Satu kisah yang bisa kita jadikan pelajaran;
Dahulu ada seorang lalim yang sudah membunuh 99 orang. Setelah berlalu beberapa lama, terbesit dalam hatinya keinginan untuk bertaubat, maka datanglah dia kepada seorang ahli ibadah.
“wahai rahib (ahli ibadah) aku sudah membunuh 99 orang, apakah Allah berkenan menerima taubatku?”
Sang rahib yang selama hidupnya diisi ibadah begitu tercengang mendengar pengakuan orang ini, spontan dia berkata: “tidak”, maka rahib inipun akhirnya dia bunuh.
Setelah membunuh 100 orang, terbesit kembali keinginan untuk bertaubat, maka kali ini dia datang kepada seorang alim.
“Wahai alim, saya sudah membunuh 100 orang, apakah bisa bertaubat?” sang alim kemudian menjawab: “bisa, siapa yang dapat menghalangi taubat seorang hamba kepada tuhannya? tapi kamu harus pergi ke daerah A, karena disana banyak orang shaleh yang beribadah kepada Allah, beribadahlah bersama mereka, jangan kembali ke tempatmu, karena tempatmu adalah tempat yang buruk.”
namun Allah menetapkan taubatnya diterima dan ruhnya dijemput oleh malaikat rahmat[1].
Setelah membaca kisah ini, pertanyaannya, bagaimana orang alim ini tau bahwa tempat tinggal si pembunuh itu adalah tempat yang buruk? Mengapa dia menyuruh pembunuh ini pindah ke tempat lain?
Jawabannya adalah bahwa orang alim ini tau, bahwa lingkungan sangat berpengaruh pada tabiat seseorang. Pembunuh ini bisa membunuh 99 orang karena atmosfer lingkungan tempat dia tinggal mendukung terjadinya hal itu, karena mustahil kondisi lingkungan yang damai, makmur, saling mengasihi dan berbuat adil memberi peluang pada tindakan pembuhunan yang berulang. Oleh karena itulah sang alim menyimpulkan, bahwa lingkungan si pembuhun merupakan lingkungan yang buruk.
Setelah mendapat kesimpulan ini, maka sang alim memberi solusi, yaitu supaya si pembunuh yang ingin bertaubat ini mengganti lingkungannya dengan lingkungan baru yang mendukung dia dalam taubatnya. Jangan sekali-kali kembali ke lingkungan asal, karena besar kemungkinan dia kembali akan membunuh dan taubatnya gagal.
Sekarang lihat realitas lingkungan kita, ketika lingkungan dan orang-orang dekat kita baik, besar kemungkinan tabiat dan cara berpikir kita juga baik, sebaliknya, bila lingkungan kita dan orang-orang dekat kita buruk, besar kemungkinan, perilaku dan cara berpikir kita juga buruk.
Inilah alasan mengapa banyak orang terkhusus anak muda enggan untuk belajar agama, yaitu karena lingkungan dan orang-orang dekatnya (baik keluarga atau teman), mendukung untuk tidak terlalu peduli dalam mendalami pemahaman terkait ajaran agama.
Menciptakan lingkungan yang religius dan penuh kebaikan merupakan tanggungjawab kita semua, jadilah pelopor dalam kebaikan pada lingkungan kita, bila seandainya pun kita tidak punya kemampuan mencipatkan lingkungan baik, pilihan terakhir adalah memilih lingkungan baik, pergilah, cari lingkungan yang mendukungmu menjadi orang baik.
A. Kurangnya Pemahaman Orientasi Hidup
Memahami orientasi hidup merupakan langkah awal dalam mencapai kebahagian yang sejati. Ketika salah menentukan orientasi, kita akan tersesat dalam belantara kesenangan duniawi yang semu.
Sebagai seorang muslim, harusnya kita tau, bahwa orientasi hidup kita adalah ridha Allah yang berwujud kehidupan akherat yang indah. Dalam shalat kita selalu membaca ini;
[1] Kisah ini terdapat pada shahih Bukhari dan Muslim
ِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ،
وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, penguasa alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan untuk itu aku diperintah dan aku termasuk orang yang berserah diri”
Meski potongan do’a iftitah ini sering kita baca, namun jarang kita renungi apalagi dipraktekan. Masih banyak di antara kita yang beribadah hanya sebagai formalitas saja, supaya gugur kewajiban, tentu ini tidak salah.
Banyak faktor mengapa kita tidak merenungi, memahami dan mempraktekkan hal ini, di antaranya adalah karena penyempitan makna “kesuksesan” yang ditanamkan pada pikiran kita.
Kebanyakan kita memhami kesusksesan itu adalah kesuksesan yang bersifat materi, sukses itu adalah ketika sudah menjadi kaya, sukses itu ketika sudah punya jabatan, ketika populer dan lainnya. Iya, itu mungkin kesuksesan, namun masih bagian dari kesuksesan yang bersifat duniawi.
Bagi orang yang beriman, tentu ada tingkat kesuksesan yang lebih tinggi, bahkan itu merupakan kesuksesan yang hakiki yang sebenarnya, yaitu ketika selamat di kehidupan akhirat.
Kesuksesan jenis ini kurang mendapat perhatian dari pikiran dan jiwa kita, mungkin karena pikiran sering dijejali dan diperlihatkan bahwa kesuksesan itu adalah hanya dalam hal materi.
Nak, kalau sudah besar semoga kamu jadi dokter, semoga kamu jadi penyanyi yang terkenal, semoga kamu jadi pejabat, lihat tetangga kita, dia sudah jadi direktur, sekarang hidupnya enak, mobilnya bagus, rumahnya mewah, orang-orang menghormati dia.
Tentu menjadi dokter, pengusaha, pejabat dan lainnya bukan suatu kesalahan, bahkan memang harus ada orang yang menjadi dokter, pejabat dan pengusaha demi berlangsungnya kehidupan. Namun yang disayangkan adalah tertanamnya definisi kesuksesan semacam itu sehingga cara berpikir kita menjadi seperti cara berpikir orang materialis[1], dan memang banyak seperti itu, muslim identitas namun materialis dalam berpikir.
Ketika orientasi hidup kita sudah tertuju pada materi, hilanglah fokus dan perhatian pada orientasi hidup yang sebenarnya. Disinilah mengapa mempelajari hakikat ajaran Islam tidak begitu diminati oleh kebanyakan kita, khususnya anak muda.
A. Stigma Pelajar Agama Yang Buruk
Di antara faktor yang membuat anak muda malas belajar agama adalah ketika melihat realita bahwa kelakuan orang yang katanya belajar agama ternyata bikin enek. Ketika bermedsos misalnya, kita dapati perdebatan tidak penting yang terus menerus terjadi, bahkan sampai terjadi fitnah, caci maki dan permusuhan.
Di dunia nyata, kita disuguhkan pemandangan kurang mengenakan dari oknum-oknum yang lekat dengan agama. Mulai dari sok tahu dalam semua urusan, merasa diri paling suci sehingga mudah merendahkan orang lain, bahkan sering terjadi kemunafikan dalam banyak hal. Belum lagi stigma kemiskinan dan kegagalan yang selalu ditempelkan pada orang-orang yang dulunya belajar agama.
Tentu tidak semuanya seperti itu, banyak pelajar agama yang beradab dan berakhlak tinggi, banyak pelajar agama yang secara finansial sangat mapan dan lainnya. Namun stigma-stigma buruk yang kadung menempel karena ulah sebagian oknum menjadi alasan mengapa banyak orang khususnya anak muda menjadi malas belajar agama.
Satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa ajaran agama Islam yang benar akan menuntun pemeluknya menjadi manusia yang beradab dan bekualitas tinggi, sejarah membuktikan itu.
Adapun orang-orang yang tidak beradab dan membuat kerusakan adalah orang-orang yang salah dalam memahami ajaran Islam.